;
Photobucket
Photobucket

Sabtu, 04 Februari 2012

JURNAL DUKUNGAN SOSIAL BY APRIANSYAH

UNIVERSITAS BINA DARMA
FAKULTAS PSIKOLOGI
PALEMBANG

      TUGAS PSIKOLOGI EKPERIMEN










Disusun Oleh

Nama    : Apriansyah  Ramadhan
Nim    : 09181026





HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA REGULER DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA SISWA KELAS ENAM AKSELERASI SD BINA INSANI NUSANTARA PALEMBANG








APRIANSYAH RAMADHAN

NIM : 09181026

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS Bina Darma Palembang






























    PENDAHULUAN

Setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan kecerdasan yang berbeda-beda. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Anak yang memiliki kemampuan kecerdasan di atas rata-rata, ada yang menyebutnya sebagai Anak Berbakat (AB). Pengertian tentang anak berbakat sangat luas. Definisi anak berbakat yang telah dikenal selama ini di Indonesia diadopsi dari definisi keberbakatan United States Office of Education, yang menyatakan bahwa anak berbakat adalah mereka yang diidentifikasikan oleh orang-orang yang berkualifikasi profesional memiliki kemampuan luar biasa dan mampu berprestasi tinggi. Anak-anak ini membutuhkan program pendidikan yang terdiferensiasi dan atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah reguler agar dapat merealisasikan kontribusi dirinya ataupun masyarakat (Hawadi, 2004, h. 35).
Keberbakatan menurut Renzulli, merupakan hasil perpaduan dari tiga konsep yaitu kemampuan di atas rata-rata, tanggung jawab pada tugas, dan kreativitas. Konsep tersebut kemudian dikenal dengan konsep keberbakatan The Three Rings Conception. Konsep keberbakatan ini menunjuk pada mereka sebagai yang berbakat bila di dalam berbagai kegiatan khusus yang dilakukan, produktivitasnya ternyata beranjak pada komitmen dalam kegiatannya. Konsep ini dianggap menarik karena dalam mengidentifikasi superioritas seseorang, perkembangannya yang luar biasa diperhatikan setelah dalam pelaksanaan suatu tugas memperlihatkan kreativitas dan komitmen pada tugas itu (Semiawan, 1997, h. 91). Pada gambar 1 terlihat bahwa keberbakatan ditunjukkan dalam bagian yang diarsir, yang merupakan perpaduan dari masing-masing konsep.
Adapun siswa yang disebut sebagai siswa berbakat intelektual dimana mereka memiliki inteligensi tinggi atau kemampuan di atas rata-rata dalam bidang intelektual (meliputi daya abstraksi, kemampuan penalaran, dan kemampuan pemecahan masalah), serta memiliki kreativitas dan pengikatan diri atau tanggung jawab terhadap tugas, dan karena kemampuannya yang unggul tersebut mampu memberi prestasi yang tinggi (Munandar, 1992, h. 15).
Dalam mengidentifikasi anak berbakat intelektual di Indonesia, para ahli menetapkan skor batasan dengan menggunakan pendekatan multikriteria dari Renzulli. Bagi murid Sekolah Dasar, skor untuk taraf kecerdasan adalah >120, untuk taraf kreativitas adalah >110, dan untuk taraf pengikatan diri (komitmen) terhadap tugas adalah >132 (Hawadi, 1992, dalam Hawadi, 2004, h. 54).
Berdasarkan konsep dan potensi kontribusi yang dapat diberikan oleh anak berbakat intelektual di masa mendatang tersebut, dalam PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kep. Mendikbud nomor 0487/U/1992, pemerintah memberikan pelayanan pendidikan yaitu dengan menerapkan program kelas khusus untuk anak-anak berbakat dengan kecerdasan di atas rata-rata yang disebut dengan kelas akselerasi. Akselerasi dalam cakupan kurikulum atau program berarti meningkatkan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dimiliki seseorang, yang dilakukan dalam kelas khusus, kelompok khusus atau sekolah khusus, dalam waktu tertentu (Semiawan, 2008, h. 145). Syarat dasar bagi siswa yang akan mengikuti kelas akselerasi ini adalah siswa dengan Intelligence Quotient (IQ) di atas 125.
Program akselerasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan model telescoping. Telescoping merupakan model pendidikan dimana siswa menggunakan waktu yang kurang daripada waktu yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan studi (Depdiknas, 2007, h. 18-19). Pada tingkat SD, dengan mengikuti akselerasi masa studi siswa dipercepat dari enam tahun menjadi lima tahun, sedangkan pada tingkat SLTP dan SMU masa studi siswa dipercepat dari tiga tahun menjadi dua tahun.
Program akselerasi pada tingkat sekolah dasar belum banyak dilaksanakan. Alasan utama dikarenakan siswa pada tingkat sekolah dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dunia dimana anak menghabiskan sebagian waktunya untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan lingkungannya. Sementara pada kelas akselerasi anak dituntut untuk terus mengembangkan aspek kognitif, dengan terus menerus belajar dan mengejar nilai agar tidak tertinggal dalam pelajaran. Pemacuan aspek kognitif tersebut akan membuat terabaikannya aspek psikososial anak. Padahal, keberhasilan anak tidak ditentukan oleh aspek kognitif saja, melainkan kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan, berempati kepada orang lain, menghargai orang lain dan sebagainya adalah kemampuan yang diharapkan dimiliki anak untuk berhasil dan mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan bermasyarakat (http://re-searchengines.com/0107ilman.html).
Terabaikannya aspek psikososial siswa akan menimbulkan beberapa dampak negatif bagi kehidupan sosial siswa diantaranya, (1) karena siswa didorong untuk berprestasi secara akademis, maka hal ini akan mengurangi waktu untuk aktivitas yang sesuai bagi usianya. Siswa yang didorong untuk belajar lebih cepat akan mengorbankan masa kanak-kanaknya demi kemajuan akademis; (2) siswa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan sosial penting yang tepat untuk usianya; (3) program akselerasi akan mengurangi jumlah dan frekuensi hubungan dengan teman-teman; (4) siswa akan memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mengembangkan keterampilan memimpin, karena ia berada di antara teman-teman yang berusia lebih tua. Secara lebih serius, hal ini dapat mengakibatkan penyesuaian sosial yang buruk saat dewasa (Irza, dalam Gunarsa, 2004). penyesuaian sosial di awal masa sekolah, akan mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik ketika duduk di bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi, dibandingkan dengan anak yang tidak berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik pada awal masa sekolah. Alasan kedua, jenis penyesuaian sosial yang dilakukan anak-anak akan meninggalkan ciri pada konsep diri mereka yang juga meningkatkan ketetapan pola penyesuaian sosial yang dilakukan.
Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan memuaskan (Schneiders (1964, h. 455).
Anak yang dapat melakukan penyesuaian sosial secara baik akan memiliki dasar untuk meraih keberhasilan pada masa dewasa. Keberhasilan anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan (Hurlock, 1995, h. 287).
Anak yang mampu melakukan penyesuaian sosial yang baik dapat terlihat dari beberapa aspek. Pertama adalah penyesuaian di rumah. Keluarga merupakan dasar bagi penyesuaian selanjutnya, dimana penyesuaian yang buruk di rumah akan diikuti dengan penyesuaian yang buruk di sekolah dan masyarakat. Penyesuaian yang baik dirumah ditandai dengan beberapa hal. Pertama, adanya relasi yang harmonis dengan semua anggota keluarga serta kesediaan menerima otoritas orangtua. Kedua, kesadaran menerima tanggung jawab dan menerima akibatnya, serta kesediaan untuk saling membantu dan bekerjasama dengan seluruh anggota keluarga. Ketiga, pengakuan orangtua terhadap kemandirian anaknya.
Aspek kedua adalah penyesuaian di sekolah dimana sekolah merupakan tempat anak berinteraksi dengan teman dan guru. Penyesuaian sosial yang baik di sekolah juga ditandai dengan beberapa hal. Pertama, penerimaan terhadap otoritas guru. Kedua, ketertarikan dan partisipasi dalam aktivitas-aktivitas di sekolah. Ketiga, kesediaan untuk menerima tanggung jawab di sekolah serta menunjukkan hubungan yang akrab dengan teman, guru, dan guru pembimbing. Aspek ketiga adalah penyesuaian di masyarakat. Kehidupan sosial di masyarakat lebih kompleks dibandingkan dengan di rumah dan sekolah. Penyesuaian sosial yang baik di masyarakat ditandai dengan kebutuhan untuk mengenali dan menghormati hak-hak orang lain, serta kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain dalam suatu hubungan yang akrab. Penyesuaian di masyarakat juga dapat dilihat dari kesediaan untuk menolong serta peduli dan bersimpati pada kesejahteraan orang lain, serta penghormatan terhadap nilai-nilai dan integritas hukum, kebiasaan dan tradisi di masyarakat (Schneiders, 1964, h. 451-458).
Melihat pentingnya penyesuaian sosial pada anak, ada beberapa faktor yang menentukan penyesuaian sosial anak berbakat. Faktor-faktor tersebut antara lain kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, determinasi psikologi, kondisi lingkungan, determinasi budaya dan agama (Schneiders, 1964, h. 122). Salah satu faktor yang berpengaruh pada penyesuaian sosial anak usia sekolah dasar adalah kondisi lingkungan yang mencakup teman sebaya. Siswa SD biasanya berusia antara 6-12 tahun ketika minat anak terhadap aktivitas bersama teman-teman akan meningkat, dan timbul keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya (Hurlock, 1997, h. 14).
Peran teman sebaya dalam penyesuaian sosial salah satunya dapat berupa pemberian dukungan sosial. Dukungan sosial dapat diartikan sebagai kesenangan yang dirasakan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang lain atau dari kelompoknya. Dukungan sosial ini mencakup lima dimensi, yaitu dukungan emosi, dukungan penghargaan, dukungan berupa bantuan langsung, dukungan informasi serta dukungan dari jaringan sosial (Sarafino, 1994, h. 102).
Penelitian mengenai penyesuaian sosial siswa akselerasi tingkat SD masih terbatas, diantaranya yang dilakukan oleh Yettie (2004, h. 29-42) serta Fauziah dan Hery (2008, h. 20-30). Yettie meneliti mengenai dukungan sosial yang diberikan oleh orangtua dan guru terhadap penyesuaian sosial siswa akselerasi dengan subjek 12 orang siswa akselerasi berusia 6-11 tahun. Hasilnya bahwa dukungan orangtua dan guru tidak signifikan terhadap penyesuaian sosial anak akselerasi. Data tambahan yang ditemukan Yettie (2004, h. 36-42) menunjukkan bahwa dukungan sosial dari teman sebayalah yang lebih mempengaruhi penyesuaian sosial siswa akselerasi dibandingkan dengan dukungan dari orangtua atau guru. Siswa yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sebayanya cenderung menunjukkan tingkat penyesuaian sosial di bawah rata-rata. Sebaliknya, subjek yang mendapat dukungan dari teman sebayanya atas perbedaan yang dimilikinya cenderung menunjukkan tingkat penyesuaian sosial yang tinggi.
Hasil penelitian yang telah disebutkan memberi gambaran bahwa dukungan sosial khususnya teman sebaya penting terhadap penyesuaian sosial. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan, terutama pada tingkat sekolah dasar. Siswa sekolah dasar masih identik dengan dunia bermain dimana pengaruh teman sebaya sangat besar terhadap keberhasilan siswa untuk melakukan penyesuaian sosial. Siswa SD yang mengikuti program akselerasi memiliki karakteristik yang berbeda dengan siswa reguler. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari usia dan kematangan emosi. Siswa reguler yang berusia lebih tua dan memiliki emosi yang lebih matang diharapkan dapat memberikan dukungan sosial kepada siswa akselerasi agar siswa akselerasi merasa diterima dan nyaman sehingga dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik. Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk meneliti hubungan dukungan sosial teman sebaya terutama dari siswa reguler terhadap penyesuaian sosial siswa akselerasi pada SD Bina Insani Nusantara.


HIPOTESIS
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara dukungan sosial teman sebaya reguler dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi SD Bina Insani Nusantara palembang. Semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya reguler maka akan semakin tinggi pula penyesuaian sosial siswa akselerasi. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial teman sebaya reguler yang diterima, maka semakin rendah pula penyesuaian sosial siswa akselerasi.


METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas     : Dukungan Sosial Teman Sebaya
    Reguler
b. Variabel Tergantung : Penyesuaian Sosial

B. Definisi Operasional
a. Penyesuaian Sosial
Penyesuaian sosial adalah kemampuan siswa akselerasi untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan memuaskan.
Penyesuaian sosial diukur melalui skala penyesuaian sosial yang disusun berdasarkan aspek-aspek penyesuaian sosial yaitu penyesuaian di rumah atau keluarga, penyesuaian di sekolah, dan penyesuaian di masyarakat (Schneiders, 1964, h. 451-458).
Semakin tinggi skor penyesuaian sosial, maka semakin tinggi pula penyesuaian sosial individu. Sebaliknya, semakin rendah skor penyesuaian sosial maka semakin rendah pula penyesuian sosial individu.

b. Dukungan Sosial Teman Sebaya Reguler
Dukungan sosial teman sebaya reguler dapat diartikan sebagai kesenangan yang dirasakan atas perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh siswa akselerasi dari teman sebaya reguler.
Dukungan sosial diukur dengan skala dukungan sosial yang disusun berdasarkan dimensi dukungan sosial yaitu dukungan emosional (emotional support), dukungan penghargaan (appreciation support), dukungan instrumental (instrumental support), dukungan informasi (informational support), dan dukungan dari jaringan sosial (network support).

C. Populasi dan Sampling
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subjek yang menpunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007, h. 61). Definisi lain menyatakan populasi adalah kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2004, h. 77). Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Azwar, 2004, h. 79).
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa-siswi kelas VI SD Bina Insani Nusantara, yang mengikuti kelas akselerasi, dan berjumlah 30 orang. Jumlah subjek dalam penelitian ini jumlahnya terbatas, yaitu hanya berjumlah 30 orang sehingga digunakan teknik sampling jenuh. Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2007, h. 68).

D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi. Skala psikologi yaitu instrument yang dapat dipakai untuk mengukur atribut psikologi (Azwar, 2004, h. 99). Dalam penelitian ini skala yang digunakan adalah skala sikap, yaitu skala dukungan sosial dan skala penyesuaian sosial dengan model skala Likert. Skala sikap berisi pernyataan-pernyataan sikap (attitude statements), yaitu suatu pernyataan mengenai objek sikap. Skala sikap terdiri dari pernyataan-pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS) (Azwar, 2004, h. 97-98). Kelima pilihan jawaban tersebut diberi skor SS=4; S=3; TS=2; STS=1 untuk pernyataan favorable, dan SS=1; S=2; TS=3; STS=4 untuk pernyataan unfavorable (Azwar, 2004, h. 99).
Selain menggunakan skala, pengumpulan data juga dilakukan dengan metode observasi dan wawancara dengan guru dan orangtua murid yang bersangkutan.

E. Metode Analisis Data
Sebelum pengolahan analisis data terlebih dahulu dilakukan uji asumsi normalitas dan linearitas untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data. Jika uji asumsi menunjukkan data normal dan linier, maka data tersebut diolah dengan statistik parametris (Korelasi Pearson), dimana data harus membentuk suatu distribusi tertentu (normal dan linear). Sedangkan bila dalam uji asumsi data tidak memenuhi salah satu asumsi (normal atau linear), maka data dianalisis dengan statistik non-parametris (Korelasi Spearman). Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dibantu dengan bantuan program komputer SPSS (Statistical Packages for Social Science) versi 17.0.

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan satu hari di SD Bina Insani Nusantara palembang, pada tanggal 11 Januari 2012 yang diberikan pada 30 siswa kelas enam akselerasi. Penelitian dilaksanakan pukul 09.30 – 10.00 WIB. Subjek yang dikenai try out dan penelitian untuk pengambilan data adalah sama, yaitu semua siswa akselerasi kelas enam di SD Bina Insani Nusantara.
Pengambilan subjek yang sama disebabkan karena jumlah keseluruhan subjek hanya 30 orang. Rentang waktu antara try out dan penelitian diberi jarak sekitar empat minggu. Pemberian jeda waktu ini dimaksudkan untuk mengurangi adanya bias penelitian.



Jika Artikel Ini Mau Di Copy Silahkan Pasang Linknya Ya Sob!! Salam ApNie.Com

Related Posts by Categories



Ditulis Oleh : Unknown

Artikel JURNAL DUKUNGAN SOSIAL BY APRIANSYAH ini ditulis oleh Unknown pada hari Sabtu, 04 Februari 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang JURNAL DUKUNGAN SOSIAL BY APRIANSYAH dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini.

:: Get this widget ! ::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.

share

LinkWithin

IP Address Visitor

IP